jilbab


Cerita Sex kali ini akan mencoba menghadirkan bagaimana binalnya
seorang siswi berjilbab dalam beradu
seks diatas ranjang bersama lawan
mainnya.
cerita dewasa, cerita sex, cerita panas, cerita seks, cerita mesum, cerita hot, cerita bokep, cerita ngentot, ngentot artis, foto sexy, abg bugil, foto seksi, foto hot, cewek bugil Jilbab Binal Bahkan cerita dewasa yang satu ini
bisa membuat kontol anda naik turun
ga jelas. Gimana mau mencoba merasakan
cewek berjilbab di ranjang ? simak
saja cerita dari kumpulan cerita
dewasa disini. Sebut saja namanya
pertiwi. Pertiwi tak bisa menolak ajakan teman
      yang ia sukai itu. Dua tahun sudah
mereka saling mengenal, sejak
keduanya sama-sama duduk di
bangku kelas satu. Dan perasaan suka itu muncul di hati
Pertiwi tak lama setelah pertemuan
pertamanya. Kalau tidak karena
Muhris memberi sinyal yang sama,
Pertiwi tentu sudah melupakan
perasaannya. Tapi cowok itu terus saja bersikap
spesial kepadanya, hingga cinta jarak
jauh mereka terjalin erat meski tanpa
kontak fisik. Lalu tiga bulan yang lalu saat
menjelang Ujian Akhir Sekolah. Kelas
pria dan wanita yang biasanya
terpisah mulai digabung di beberapa
kesempatan karena alasan
peningkatan intensitas pelajaran. Siswa putra duduk di barisan depan,
sedang yang putri di bagian belakang.
Tapi Muhris duduk di barisan putra
paling belakang sedang Pertiwi di
barisan putri paling depan. Maka tak
ayal Muhris berada tepat di depan Pertiwi. Dan itulah awal kontak terdekat yang
terjadi pada mereka. Biasalah…
Awalnya pura-pura pinjam alat tulis,
tanya buku, ini… itu… Tapi senyuman
makin sering tertukar dan kontak
batin terjalin dengan pasti. Kadang ada alasan bagi keduanya
untuk tidak keluar buru-buru saat
istirahat, hingga ada masa singkat
ketika mereka hanya berdua di dalam
kelas; tanya-tanya pelajaran—alasan
basi yang paling disukai setiap orang. Dua bulan lebih dari cukup untuk
memupuk rasa cinta. Meski pacaran
adalah terlarang, dan keduanya
belum pernah saling mengutarakan
cinta, tapi semua teman mereka tahu
keduanya adalah sepasang kekasih. Hubungan cinta yang unik di jaman
yang serba bebas ini. Dan Pertiwi
begitu menikmati perasaannya. Setiap
waktu teramat berharga. Sekilas
tatapan serta seulas senyuman selalu
menjadi bagian yang menyenangkan. Lalu cinta mulai berkembang saat
kenakalan muncul perlahan-lahan.
Pertiwi sempat ragu saat Muhris
memintanya untuk datang ke Mall M
sepulang sekolah sore itu. Sejuta perasaan bahagia membuncah
di hati Pertiwi, bercampur dengan rasa
takut dan kegugupan yang luar biasa.
Ia nyaris pulang lagi saat sore itu ia
berdiri di pintu Mall untuk bertemu
dengan Muhris. Tapi cowok itu keburu melihatnya
hingga ia tak dapat menghindar lagi.
Ia tahu bahwa dirinya salah tingkah
selama kencan pertama mereka. Malamnya Pertiwi tak bisa tidur.
Membayangkan tentang betapa
menyenangkannya kencan mereka,
saat untuk pertama kalinya Muhris
menggenggam tangannya selama
berkeliling melihat-lihat banyak hal. Seluruh tubuhnya terasa panas dingin.
Muhris bahkan membelikan sebuah
hadiah berupa kalung mutiara yang
sangat mahal untuk ukuran dirinya.
Untaian mutiara itu sangat indah, putih
memancarkan kilau yang terang. Cowok itu berkata, “Walaupun aku
tak akan dapat melihatmu
mengenakan kalung itu, kuharap
kamu mau tetap mengenakannya.”
Dan tentu saja ia senantiasa
mengenakan kalung mutiara itu. Satu bulan itu dihiasi dengan kencan
sembunyi-sembunyi yang sangat
mendebarkan. Seperti bermain
kucing-kucingan dengan semua
orang yang Pertiwi kenal. Kalau ada satu saja orang yang tahu
Pertiwi berduaan dengan seorang pria
di Mall, maka Pertiwi tak dapat
membayangkan petaka apa yang
akan menimpanya. Tapi berhenti dari melakukan itu ia
yakini lebih mengerikan daripada
terus menjalaninya. Karena, di sore itu,
di satu sudut yang sepi di dalam Mall,
tiba-tiba saja Muhris mencium pipinya
dengan cepat tanpa mengatakan apapun juga. Hanya sekilas, dan Muhris membuat
seolah-olah itu tak pernah terjadi. Tapi
pengaruhnya sangat besar pada diri
Pertiwi. Karena seluruh perasaannya
bergemuruh dan membuncah.
Bercampur aduk hingga ia hanya bisa
diam saja seperti orang bodoh. Sisa sore itu berlalu tanpa ada dialog
apapun, karena Pertiwi tahu wajah
putihnya telah berubah semerah
udang rebus. Meninggalkan kesan
terindah yang terbawa ke dalam
mimpi bermalam-malam sesudahnya. Tiga hari sejak peristiwa itu Pertiwi
selalu berusaha menghindar dari
Muhris. Ia merasa malu, bingung dan
takut. Bagaimanapun juga satu sisi
perasaannya masih memiliki
keyakinan bahwa cinta mereka mulai
melewati batas. Tapi ia belum tahu cara kerja nafsu.
Karena ketika akhirnya mereka
bertemu kembali, Pertiwi tak bisa
menolak saat di banyak kesempatan
Muhris mencium pipinya berkali-kali;
kanan dan kiri. Bahkan, saat Muhris semakin nakal
dengan meremas tangannya,
memeluk tubuhnya dan mencium
bibirnya (meski semua itu dilakukan
Muhris tak lebih dari lima detik saja),
Pertiwi hanya terpana dan sangat menikmati semuanya. Sebelum
berpisah, Muhris berbisik pelan
kepadanya, “Kamu mau, kan, main ke
rumah esok sore?” Anehnya, seperti seorang yang
terhipnotis, Pertiwi mengangguk… Maka, sore itu, dengan mengenakan
gamis bercorak ceria khas remaja
dengan hiasan renda bunga melati,
dipadukan dengan jilbab pink yang
disemati bros berbentuk kupu-kupu,
juga sebuah tas jinjing dari kain kanvas, Pertiwi duduk di sofa ruang
tamu di rumah Muhris. Menunggu kekasihnya mengambilkan
dua gelas jeruk dingin dan sepiring
buah-buahan segar. Matanya menatap
ke sekeliling ruangan dan
mendapatkan kesan yang sangat
menyenangkan. Kesan itu didapat, sebagian karena
bagaimanapun ini adalah rumah
orang yang ia cintai, dan sebagiannya
lagi karena pemiliknya memiliki cukup
banyak uang untuk menata dengan
demikian indahnya. Pertiwi tak tahu banyak soal dekorasi,
tapi sesungguhnya rumah itu
memang didesain dengan nuansa
klasik yang sesuai dengan alam
pegunungan tempat rumah itu berdiri. Perabotan, dari mulai lampu-lampu,
tempat duduk, meja, lukisan-lukisan
serta berbagai hal didominasi oleh
corak bambu dan kayu asli. Sementara dedaunan dan tanaman
hijau—bercampur antara imitasi dan
buatan—menghiasi sudut-sudut yang
tepat. Air terjun buatan dibangun di
samping ruang tamu, dengan cahaya
matahari yang hangat menyinari dari
kaca jendela samping. Wilayah itu ditutup oleh kaca bening
yang dialiri air dari atas, sehingga
mengesankan suasana hujan yang
indah dan menimbulkan bunyi
gemericik air yang terdengar
menyenangkan. Lukisan pedesaan dipasang di satu
sudut yang tepat bagi pandangan
mata, dengan gaya naturalis hingga
setiap detail nampak sangat jelas. Seperti sebuah foto namun
memancarkan aura magis yang lebih
kentara. Pertiwi sempat terpana
dengan semuanya, dengan kesejukan
yang melingkupi seluruh dirinya,
sampai ia tak sadar kalau Muhris telah duduk di sebelahnya, sedang menata
gelas dan piring-piring. “Maaf, ya… Seadanya. Habisnya Umi
lagi ke Bandung ikut seminar,
nemenin Abi…” Pertiwi tersipu malu. Ia berasal dari
keluarga yang lebih sederhana,
sehingga rasa mindernya muncul saat
mendapati rumah yang demikian
besar dan mewah ini ternyata milik
pacarnya. “Nggak apa-apa, Ris. Pertiwi seneng,
kok…” Pertiwi merasakan suaranya
tercekat di tenggorokan. Sore itu Pertiwi lalui dengan sangat
menyenangkan. Ngobrol berdua,
bercanda, tertawa, nonton film, main
game PS hingga makan malam. Pertiwi
baru tahu bahwa ternyata Muhris bisa
memasak. Pintar malah. Kelezatan rasanya melebihi masakan
yang pernah ia buat. Dengan malu ia
mengakui itu di hadapan kekasihnya,
yang membalasnya dengan ciuman
pipi kanan yang lembut.
“Aku tetep cinta kamu, kok…” Perlu diketahui bahwa Pertiwi saat itu
berusia 16 tahun dan memiliki tubuh
yang mulai matang sebagai seorang
gadis. Posturnya juga tinggi dengan
wajah manis yang terkesan keibuan. Tapi percayalah bahwa ia sangat
polos, lebih polos dari gadis SD di kota
besar yang telah mahir urusan peluk
dan cium. Desa tempat ia tinggal
sangat jauh dari arus informasi dan
pengaruh buruk ibukota. Maka ia tak menaruh prasangka
apapun saat Muhris mengajaknya
menginap di rumahnya malam itu.
Memang ini urusan yang tabu di
desanya, tapi kepolosan Pertiwi
membuatnya yakin bahwa Muhris tak akan melakukan hal buruk
terhadapnya. Sehingga, pilihan berbohong ia
lakukan agar bisa berduaan terus
dengan kekasihnya. Ia telah bilang
pada orang rumah bahwa ia akan
menginap di rumah Ririn. Ia tahu orang tuanya tak akan curiga,
karena hal itu biasa ia lakukan di
waktu-waktu ujian sekolah. Apalagi
menjelang Ujian Akhir seperti
sekarang. Suasana malam sangat sunyi dan
suara jengkerik telah berganti dengan
burung malam. Tak berapa lama rintik
hujan mulai turun, dan Pertiwi tak
menyadarinya sampai hujan itu
berubah jadi deras. Sangat deras, karena di musim
penghujan seperti ini hal seperti itu
selalu saja terjadi. Kalau tidak karena
suasana cinta yang tengah
meliputinya, Pertiwi tak akan betah di
rumah orang dalam situasi seperti itu. O, iya… Sebetulnya Pertiwi dan Muhris
tidak benar-benar berdua di rumah,
karena ada Hana, adik perempuan
Muhris yang sekarang duduk di
bangku kelas 1 SMP. Makanya Pertiwi tidak terlalu merasa
sungkan, karena ia bisa bermain
dengan Hana juga di sepanjang sore
dan malam itu. Muhrislah yang agak
kerepotan karena harus meminta
Hana agar berjanji tidak memberitahukan keberadaan Pertiwi
kepada orang tua mereka. Hana sebetulnya tidak susah dibujuk.
Hanya saja keberadaannya
menyulitkan karena ciuman-ciuman
harus dilakukan secara hati-hati. Peluk dan cium beberapa waktu yang
lalu memang mendapatkan
perlawanan (meski setengah hati) dari
Pertiwi. Tapi hal itu tak berlaku malam
ini, karena kini Pertiwi merasa lebih
santai dan bebas. Di satu kesempatan Muhris
memeluknya sembari mencium
bibirnya sekilas. Di kesempatan lain ia dipeluk dari
belakang, tepatnya saat ia mencuci
piring bekas makan malam dan pria
itu mengendap-endap dari belakang
dan begitu saja melingkarkan tangan
di pinggangnya. Pertiwi sempat menjerit pelan dan
berusaha meronta, tapi tangannya
yang memegang piring dipenuhi busa
sabun hingga susah untuk bergerak. Ia hanya menggelinjang pelan dan
merengek lemah, saat pelukan itu
makin erat dan ciuman di pipinya
membuatnya terbius. Hampir saja
Hana melihat perbuatan mereka, kalau
Muhris tidak buru-buru melepaskan pelukan di pinggang yang ramping
itu. Setelah mandi malam yang
menyenangkan, di dalam bath-tub air
hangat yang penuh busa dan
peralatan mandi yang lengkap milik
Umi Muhris, Pertiwi bergabung
dengan kakak beradik di ruang TV. Ia mengenakan busana malam yang
lebih santai (setidaknya untuk ukuran
gadis berjilbab); kemeja kaus lengan
panjang putih bermotif garis warna
biru dengan bawahan rok katun
berwarna biru lembut, dipadukan jilbab simpel berwarna biru senada. Parfum aroma bunga khas remaja ia
seprotkan di tempat-tempat yang
tepat untuk menyegarkan dirinya. Lalu ia duduk di samping Hana yang
sedang tertawa menyaksikan film
kartun di televisi. Mata Pertiwi saat itu
tertuju penuh ke televisi, namun
pikirannya terbang ke alam tertinggi
yang penuh imajinasi. Pelukan dan ciuman hangat dari
Muhris mau tak mau membangkitkan
gairah terpendam yang selama ini
tersembuyi jauh di dasar jiwanya. Ia mengalami semacam sensasi aneh
yang baru dikenalnya, yang sangat
memabukkan dan membuatnya lupa
diri. Jam baru pukul delapan malam
namun kegelisahannya telah
memuncak. Pertiwi tak tahu—atau mungkin tak
berani mengakui—bahwa dirinya
telah dipenuhi sensasi seks yang
menyenangkan. Terlebih ini adalah masa-masa
suburnya. Letupan-letupan kecil yang
dipicu oleh Muhris membuatnya
perlahan-lahan tebawa ke arus deras,
hingga sulit terbendung oleh
keremajaannya yang sedang membara. Penghalang dirinya untuk melakukan
hal-hal yang lebih seronok adalah
rasa malu, takut serta ketidaktahuan
yang besar tentang kondisi-kondisi
semacam ini. Tapi pancingan-pancingan yang
dilakukan oleh Muhris dengan lihai
membawanya pada pengalaman-
pengalaman terlarang yang sangat
menggairahkan. Semuanya akibat
kepolosan sang gadis remaja. Jam delapan lewat dua puluh menit
Muhris bangkit dari duduknya dan
menarik tangan Pertiwi agar
mengikutinya. Hana tak sadar karena ia terfokus
pada acara televisi. Pertiwi menurut
dan dadanya berdebar kencang saat
Muhris menariknya ke lantai dua. Kalau Pertiwi sedikit lebih gaul, ia akan
tahu Muhris bermaksud melakukan
sesuatu, tapi Pertiwi jauh lebih polos
dari yang orang kira, hingga ia justru
merasa senang saat Muhris
mengajaknya untuk melihat-lihat kamarnya. Ia senang bisa tahu isi dalam kamar
kekasih yang ia cintai. Pertiwi kagum
pada suasana kamar Muhris yang
menyenangkan. Ia juga terkejut saat menemukan foto
dirinya dalam pose separuh badan
terpampang di dinding kamar. Foto itu ditutupi Muhris oleh poster
pemain bola, hingga tidak ada yang
tahu bila setiap malam ia menarik
poster itu dan memandangi foto gadis
yang tersenyum manis di sana. Pertiwi setengah lupa tentang kapan
ia membuat foto itu. Ia merasa foto itu
lebih cantik dari aslinya. Tapi Muhris menjelaskan bahwa
program komputer photoshop dapat
melakukan banyak hal, seperti
membuat gadis secantik dirinya
terlihat lebih segar dan mempesona. Pertiwi tersipu malu. Tapi itu belum
seberapa, karena tiba-tiba Muhris
menarik dirinya agar berhadapan, lalu
mengeluarkan sepasang anting
mutiara dari kotak beludru di saku
celananya. Pertiwi terperanjat. Muhris berbisik
mesra, “Ini pasangan kalung yang
pernah kuberikan. Aku mau kamu
mengenakannya…” Mata Pertiwi berkaca-kaca. Kalau saja
ia berani, ia sudah memeluk pria di
hadapannya dan menciumnya
bertubi-tubi. Tapi ia terlalu malu untuk melakukan
hal semacam itu. Ia hanya salah
tingkah, saat Muhris meletakkan
anting-anting itu di telapak tangannya
dan berkata lagi, “Aku pasangkan
sekarang, ya…” “Tapi…” Suara Pertiwi serak dan lirih. “Tapi kenapa?”
“Pertiwi malu…” “Kok malu? Bukankah kita saling
mencintai?! Masihkah kita saling
tertutup?” Pertiwi bingung untuk menjawab,
karena ini adalah momen pertama
dalam hidupnya ketika ia harus
membuka jilbabnya di hadapan
seorang laki-laki. Wanita-wanita yang biasa berbikini di
kolam renang atau berpakaian seksi
di Mall-mall tentu tak akan paham
kenyataan ini. Tapi Pertiwi adalah perempuan yang
sejak belasan tahun lalu selalu
menutup seluruh bagian tubuhnya
dan tak memamerkannya pada
siapapun kecuali keluarganya. Melepas jilbab baginya sama seperti
melepas rok di depan kamera bagi
gadis keumuman. Aneh? Memang!
Tapi itulah kenyataannya. Ia setengah menangis saat tak kuasa
menolak permintaan Muhris yang
menyudutkan itu. Ia memang diam. Tapi dadanya bergemuruh hebat saat
jemari Muhris melepasi jarum dan
peniti yang menyemati jilbabnya. Ia
tertunduk dalam dan menahan nafas
saat tangan kekasihnya menarik lepas
jilbabnya. Tangannya yang gemetar meremas-
remas ujung kaus, dan tanpa sadar ia
menggigit bibirnya sendiri saat Muhris
menarik dagunya agar mereka bisa
saling bertatapan serta membelai
rambutnya dengan mesra; rambut yang hitam lurus sepanjang bahunya. “Kamu cantik sekali, Pertiwi…” Suara
itu terdengar lirih, dan Pertiwi hanya
terpejam menahan semua
perasaannya. Itu adalah ekspresi terbodoh yang
pernah ia lakukan, atau justru yang
terbaik, karena semuanya mendorong
Muhris untuk mengecup bibirnya
dengan lembut. Ciuman hangat dan
penuh cinta, membawa Pertiwi terbang tinggi dan melupakan dunia
ini. “Mmmh…” Pertiwi hanya terpejam
pasrah. Tubuhnya gemetar hebat. Tapi mulutnya terbuka lebar saat lidah
Muhris mulai menjulur dan
menggelitiki rongga mulutnya.
Lidahnya ikut bergerak meski masih
sangat kaku, saling menggelitiki
untuk mendapatkan sensasi aneh yang sempurna. Tangannya begitu saja memeluk
lengan Muhris yang kokoh, yang saat
itu tengah melingkarkannya di
pinggangnya sendiri. Waktu seakan berhenti. Dan
keduanya terpaku seperti sepasang
patung sihir. Hanya helaan nafas yang
terdengar di sela-sela ciuman
membara dan dipenuhi gelora cinta. Kedua tubuh itu merapat dan saling
bergesekan, seakan tak dapat
terpisahkan. Saling memberikan rasa
hangat yang aneh dan
membangkitkan seluruh saraf yang
tertidur. Keduanya baru berhenti ketika nafas
mulai habis dan terengah-engah
kelelahan. Pertiwi kaget dan merasa
malu sekali. Mulutnya basah akibat
ciuman panas itu. Tapi ia tak dapat berbuat apa-apa
selain menanti yang terjadi
selanjutnya. Ia membiarkan Muhris
memasang anting-anting di kedua
telinganya. Ia menahan rasa geli saat jari jemari
Muhris seakan menggelitik kedua
telinganya, dan menurut saja ketika
pria itu menuntunya ke hadapan
cermin besar.
“Lihat… Kamu cantik sekali..” Pertiwi melihat sekilas ke cermin,
menyaksikan dirinya sendiri tanpa
jilbab, dengan dihiasi anting-anting
dan kalung mutiara dari kekasihnya.
Ia merengek manja dan menutup
muka dengan telapak tangannya. “Aah… Muhris jahat… Pertiwi malu…”
“Malu sama siapa?” Mereka bercanda
dengan mesra dan lebih hangat. Ciuman tadi telah menyingkapkan
tabir kekakuan yang telah terbentuk
selama ini. Mereka kini lebih mirip
sepasang kekasih, dengan pelukan
dan ciuman hangat yang sarat nuansa
cinta. Pagi itu adalah pagi terindah bagi
Pertiwi. Menghidangkan sarapan di
meja makan untuk Muhris
membuatnya merasa seperti seorang
istri yang melayani suaminya. Muhris
dan adiknya sangat puas dengan masakannya. Canda tawa menghiasi makan pagi
mereka yang berlangsung dengan
santai. Seusai makan Hana langsung
berangkat sekolah, meninggalkan
sepasang sejoli yang dimabuk asmara
itu tanpa kecurigaan apapun. Membiarkan keduanya menikmati hari
dalam kemesraannya. Tapi, kalau
kamu berpikir malam itu keduanya
melakukan hubungan-hubungan
khusus suami istri, percayalah bahwa
kamu salah besar. Mereka masih terlalu penakut untuk
melakukan hubungan yang lebih
jauh. Meskipun ciuman mereka
semakin panas, aktivitas lain masih
terhitung sopan karena tangan Muhris
tak pernah bergerilya seperti tangan para professional. Masih tetap pelukan sopan yang tak
melibatkan rabaan ataupun sentuhan
lain. Keduanya tidur terpisah dan tak
ada aktivitas nakal di malam hari. Pertiwi pulang dari rumah Muhris
sekitar pukul sepuluh pagi, setelah
banyak ciuman tambahan sehabis
sarapan dan mandi pagi. Kepada
orang rumah ia bilang sekolah pulang
cepat. Seharian ia lebih banyak mengunci diri
dalam kamarnya, menikmati sensasi
imajinasi yang semakin liar dibanding
waktu sebelumnya. Pertemuan
selanjutnya ternyata lebih lama dari
yang diduga. Keduanya benar-benar tersibukkan
oleh tugas-tugas sekolah, hingga
baru bertemu lagi (untuk berduaan
tentunya) dua minggu setelahnya.
Keluarga Muhris berlibur ke rumah
nenek di luar kota. Alasan ujian membuat Muhris bisa
menghindar dari paksaan orang
tuanya, sehingga rumahnya bebas
selama satu minggu penuh. Itulah saat
yang tepat untuk bermesraan dengan
Pertiwi, dan ia telah menyiapkan banyak hal untuk pekan yang
istimewa itu. Pertiwi datang pagi hari itu dengan
mengenakan seragam sekolahnya. Perpisahan yang cukup lama ternyata
membuat gadis itu lebih agresif,
sehingga, meskipun tetap Muhris yang
harus memulainya, Pertiwi
memberikan balasan yang sedikit liar
dan nakal. Muhris sampai megap-megap
kewalahan. Sesudahnya mereka
tertawa-tawa sambil berpelukan di
atas sofa, sembari mata mereka
menatap layar TV tanpa bermaksud
menontonnya. Sekitar menjelang siang Pertiwi
dibonceng Muhris untuk main ke Mall
M. Setelah itu dilanjutkan ke taman L
dan bermain sepeda air di sana. Mereka juga melakukan banyak hal
yang menyenangkan, yang membuat
mereka lupa waktu. Hari telah senja
ketika keduanya memutuskan untuk
pulang, saat langit berubah gelap dan
tiba-tiba saja menjadi hujan yang sangat deras sebelum keduanya tiba
di rumah. Tak sampai lima menit ketika
keduanya berubah basah kuyup, dan
Pertiwi telah menggigil kedinginan
saat perjalanan belum mencapai
setengahnya. Keduanya tiba di rumah saat
menjelang makan malam. Oleh-oleh
yang mereka beli di jalan telah basah
kuyup dan tak ada satu bagianpun
yang kering dari diri mereka. Tubuh Pertiwi menggigil hebat dan
wajahnya pusat pasi. Bibirnya agak
membiru. Muhris bergegas membawa
gadis itu ke dalam rumah dan
menyiapkan air panas di bath-tub
kamar atas. Sementara menunggu gadis itu mandi,
ia menyiapkan dua gelas susu coklat
panas dan sekaleng biskuit kacang. Ia
sendiri langsung mandi setelah itu,
dan keduanya selesai setengah jam
kemudian. Pertiwi baru sadar bahwa ia tidak
memiliki pakaian ganti, dan
kebingungan sampai mengurung diri
di kamar mandi. Muhris berusaha
meminjamkan pakaian ibunya, tapi
pakaian bersih ibunya terkunci dalam lemari. Sementara itu pakaian Hana juga tak
muat dan terlalu kecil. Untunglah
Muhris ingat bahwa di kamar tamu
ada pakaian-pakaian saudara
sepupunya, yang biasa disimpan di
sana untuk dipakai jika menginap di rumah Muhris. “Tapi… Sepupuku tidak berjilbab. Jadi
pakaiannya agak… Kamu coba aja deh
cari yang pas. Aku tunggu di ruang
TV…” Pertiwi kebingungan sendiri di
kamar tamu itu. Ia agak risih karena semua pakaian di
dalam lemari itu adalah pakaian-
pakaian yang gaul, serba ketat dan
serba minim. Cukup lama ia memilih dan tidak
menemukan juga pakaian yang cocok
untuk dirinya, sehingga ia memilih
pakaian yang menurutnya agak
paling sopan. Tapi tetap saja serba minim. Dengan
malu ia mengenakan pakaian
pilihannya dan menghampiri
kekasihnya di ruang TV. Wajah Muhris berubah kaget dan
matanya bergerak kesana-kemari;
mata yang biasa Pertiwi temukan pada
pria-pria nakal di pinggir jalan. Tapi Pertiwi tahu semua ini karena
dirinya, dan setengah menangis ia
berusaha menutupi keterbukaan
dirinya dengan kedua tangan.
Bagaimana tidak?! Inilah pertama kalinya seumur hidup
ia mengenakan pakaian minim di
hadapan seorang pria, meskipun itu
adalah kekasihnya juga. Sepupu Muhris bertubuh lebih pendek
dan kecil dari dirinya, sehingga kaus
pink tipis bergambar Barbie yang ia
kenakan benar-benar melekat ketat di
tubuhnya, menampakkan lekuk-
lekuk yang nyata dan mempesona. Bahkan bagian pusarnya tidak betul-
betul tertutupi, meskipun berkali-kali
ia berusaha menarik kaus itu ke
bawah. Sementara itu, celana hijau lumut
selututnya juga sama ketatnya, dan
tidak benar-benar selutut, karena
tubuh Pertiwi yang tinggi. Pertiwi sebetulnya memiliki kulit yang
putih bersih dan lekuk yang indah,
sehingga ia nampak cantik menawan
dengan pakaian seksi itu. Terlebih rambut panjangnya masih
setengah basah, menciptakan sedikit
gelombang yang menambah aura
kecantikannya. Tapi Pertiwi tak terbiasa dengan hal-
hal seperti itu, hingga ia merasa
dirinya buruk dan norak. Ia takut
Muhris meledeknya, serta jengah
dengan keterbukaannya sendiri. “Kamu cantik sekali, Pertiwi…” Suara
Muhris terdengar bergetar, dan Pertiwi
merinding ketika pria itu malah
mendekatinya dan berusaha
memeluknya. Ia berusaha
menghindar dan tangannya menolak pelukan Muhris. “Pertiwi malu… Jangan, Muhris…
Jangan…” “Lho… Kenapa?” Pertiwi hanya menggeleng dan Muhris
berusaha menghormatinya. Mereka
menghabiskan malam dengan
menonton TV dan menghabiskan
susu hangat di meja. Namun Pertiwi
agak lebih pendiam dan gelisah. Tangannya terus-terusan memeluk
bantal besar, berusaha menutupi apa
yang ada di baliknya. Ia tak tahu bahwa pria di sebelahnya
lebih gelisah lagi, meski alasannya
sedikit berbeda. Ia terlalu sibuk oleh
pikirannya sendiri hingga tak sadar
bahwa mata Muhris terus menelusuri
dirinya, seolah berusaha menelanjangi. Awalnya Pertiwi tak sadar pada
sentuhan itu. Berkali-kali Muhris
mencium pipinya, tapi ia menganggap
wajar hal tersebut. Itu hal yang biasa
mereka lakukan, dan Pertiwi
menganggapnya sebagai sun sayang yang biasa ia dapatkan. Tapi Muhris kini telah melingkarkan
tangan kiri melalui sandaran sofa dan
mendarat di bahunya. Sedang tangan
kanan diletakkan di atas lutut Pertiwi
yang terbuka. Cuaca memang sangat dingin akibat
hujan yang tidak juga berhenti,
hingga elusan di lututnya terasa
nyaman dan menghangatkan,
membuat Pertiwi setengah tak sadar
ketika elusan itu makin merambat ke atas pahanya yang sedikit tersingkap. Pertiwi sangat suka nonton sinetron
dan tayangan di TV adalah sinetron
favoritnya. Adegan dan kata-kata
romantis di layar kaca seperti memberi
hipnotis tersendiri. Adegan ciuman memang disensor,
tapi hal itu justru membuatnya tak
kuasa menolak saat ciuman Muhris
beralih ke bibir basahnya. Untunglah
saat itu sedang iklan, hingga ciuman
dari Muhris dapat diterima oleh Pertiwi sepenuhnya, yang baru sadar bahwa
posisi duduk kekasihnya sangat
mengintimidasi dirinya. Tapi ciuman itu begitu manis dan
menyenangkan, memunculkan rasa
hangat yang menggelora yang sangat
ia rindukan. Tak perlu menunggu lama untuk
membangitkan hasrat gadis itu.
Pengalaman telah mengajarkan
banyak hal kepadanya, sehingga
lidahnya langsung menyambut saat
Muhris mulai mengajaknya bermain- main. Bibir Pertiwi termasuk agak tipis,
merah dan masih alami. Namun
lidahnya lincah dan pandai bergerak.
Dengan daya dukung kecerdasan di
atas rata-rata, ia menjadi gadis yang
cepat belajar dan tahu bagaimana cara memuaskan lawan mainnya. Muhris sendiri sangat kaget dengan
kecepatan Pertiwi dalam mempelajari
teknik-tekik baru, hingga di akhir
pertandingan lidah mereka, ia
membiarkan sang gadis
mengalahkannya hingga pipi gadis itu merona akibat agresivitasnya sendiri. Ketika berciuman Pertiwi lupa pada
apapun. Tapi setelah selesai ia baru
sadar bahwa sejak tadi tangan kanan
Muhris terus-terusan membelai-belai
pahanya, bergantian antara kanan
dan kiri. Kini ia benar-benar merasakan
rangsangan itu, rangsangan yang
lebih terkesan dewasa dibanding
sekedar ciuman bibir. Tangannya bertindak cepat,
mencegah Muhris sesaat sebelum
tangan kekasihnya itu menyentuh
bagian pangkal pahanya. Mulut mereka terdiam dan hanya mata
yang berbicara. Muhris meminta,
Pertiwi menolak halus. Tangan Muhris
bergerak lagi, tapi Pertiwi mencegah
lagi. Muhris tersenyum manis. “Maaf, ya…
Aku kelewatan…” Pertiwi ikut tersenyum.
“Lebih baik kita dengar musik aja, ya!
Kita berdansa. Seperti di film.” Pertiwi diam menunggu dan manut
saja pada apa yang diinginkan
kekasihnya. Suara lembut mengalun
dari player, dan tangan Muhris
menjulur padanya. Pertiwi grogi
karena ia belum pernah berdansa sebelumnya. Muhris meyakinkan bahwa ia sama
tidak tahunya seperti Pertiwi. Jadi tak
usah malu karena mereka hanya
berdua di sini. Dengan langkah-
langkah kaku tubuh mereka bergerak
pelan, saling berpelukan. Keduanya tertawa pada gerakan
masing-masing, tapi tetap merasa
senang karena ciuman dimulai lagi
beberapa saat sesudahnya. Tubuh Pertiwi hampir sama tingginya
dengan Muhris, hingga ia tak perlu
berjinjit untuk menyambut pagutan
pria itu. Ia tak tahu bahwa
kecantikannya makin memesona diri
Muhris dan keremajaannya terus memancing-mancing gairah. Belum lagi aroma parfum menebar
dari seluruh tubuhnya. Tangan Muhris
tak tahan untuk tidak mengelus-elus
tubuh bagusnya, bergerak dari
pinggang ke arah atas. Pertiwi masih setengah menganggap
elusan itu adalah bagian dari gerakan
berdansa. Ciuman bibir Muhris
membuat tubuhnya lemas, hingga
elusan itu ia nikmati saja seperti
halnya ciuman di bibirnya. Terasa geli saat menyentuh bagian
samping dadanya.“Mmmh… Mmhhh…”
Elusan tangan Muhris makin
mengarah ke dada Pertiwi, membelai-
belai benda yang lunak dan empuk
itu. Gadis itu mengejang karena rasa aneh
yang melandanya. Itu adalah
sentuhan pertamanya, dan ia masih
sangat sensitif. Tangannya secara refleks berusaha
mencegah, tapi Muhris yang tak mau
gagal lagi berusaha menahan Pertiwi
agar tetap diam. Ciumannya makin liar
hingga Pertiwi tak bisa mengelak. Remasan di dadanya terasa makin
nyata, membuat Pertiwi terengah-
engah akibat rangsangan hebat di
tubuhnya. Ia tak kuasa mencegah
remasan itu, karena bagaimanapun
dirinya ternyata menikmatinya. Keduanya terengah-engah akibat
ciuman yang panjang itu. Sedang
muka Pertiwi makin memerah, karena
ia benar-benar terangsang oleh
remasan tangan Muhris di dadanya. Payudaranya yang berisi membuat
genggaman Muhris terasa penuh. Ia
membiarkan dirinya terdesak ke
dinding, hingga ia tidak sampai
merosot jatuh saat remasan tangan
Muhris makin lincah dan mempermainkan puncaknya yang
masih tertutup kaus. Ia hanya mendongak setengah
terpejam dan tangannya yang
bingung merapat ketat di tembok. Ia
makin belingsatan karena di saat yang
bersamaan ciuman Muhris mendarat di
dagu dan lehernya bertubi-tubi. Lehernya cukup panjang dan jenjang,
hingga kepala Muhris dapat terbenam
di sana dan memagut-magutnya
seperti ular. Pertiwi merasakan air mata mengalir
lewat sudut matanya. Ia sangat
kebingungan mengenali perasaannya
saat ini. Remasan tangan kanan Muhris
berganti menjadi ciuman bibir. Ia
sempat menunduk dan hanya melihat
rambut kekasihnya. Kepala Muhris terbenam di buah
dadanya yang telah mengeras
kencang, dan Pertiwi dapat
mendengar kecipak-kecipuk saat
Muhris melahap dadanya itu dengan
sedikit buas. “Muhris… Muhris… Ohhh. Apa yang
kamu lakukan sama Pertiwiaa…
Mmhhh… Jangan, Ris… Aahh…” Muhris telah menggulung kaus
ketatnya ke arah atas, berusaha
menyingkapkannya agar buah dada
itu lebih leluasa dinikmati. Lelaki itu
terus meremas-remas dengan lembut
dan penuh perasaan. Menjepit dan mempermainkan putting
susunya yang masih tertutup BH tipis
berwarna krem. Mungkin Muhris merasa gemas
mendapati payudara yang demikian
empuk dan kenyal itu, payudara
perawan yang masih sangat sensitif
dari sentuhan. Keadaan Pertiwi kini sungguh
mengenaskan. Kekasihnya
menyerangnya di berbagai tempat,
mempermainkan dirinya seperti
sebuah boneka. Bibir dan tangan kiri di payudaranya,
tangan kanan di sela-sela pahanya. Semuanya adalah sensasi yang baru
pertama kali ia rasakan. Dulu ketika ia
belum pernah mengalaminya, ia selalu
berjanji bahwa ia hanya akan
melakukan ini dengan suaminya di
atas ranjang pernikahan. Dulu ketika hal ini tak pernah terbersit
dalam benaknya, ia sangat yakin
mampu menjaga kehormatannya. Tapi
kini ketika benar-benar
mengalaminya, ia tak tahu apakah ia
akan tetap sekuat itu. Sentuhan-sentuhan ini terlalu
melenakan dirinya, dan
membangunkan perasaan rindunya
yang telah lama terpendam. Ia sangat
bingung hingga hanya mampu
meneteskan air mata dan meremas remas rambut Muhris. “Aku sayang kamu, Pertiwi… Mmmh…
Aku sayang kamu…” Terdengar
rayuan Muhris di sela-sela
kesibukannya. Pertiwi hanya mampu
menjawabnya dengan erangan-
erangan aneh, karena saat itu tangan kanan Muhris telah menembus
langsung ke pangkal pahanya. Jari jemari pria itu menggosok-gosok
dan mempermainkan di tempat yang
paling sensitif, hingga Pertiwi
merasakan celananya basah oleh
cairan yang tak ia kenal sebelumnya. Memang sentuhan tersebut bukanlah
sentuhan langsung karena tubuh
Pertiwi masih tertutup CD tipis dan
celana ketatnya. Tapi ini adalah sentuhan pertamanya,
dan semuanya sudah lebih dari cukup
untuk membangkitkan rangsangan
dahsyat itu. Apalagi setelah beberapa
lama Muhris tidak juga menghentikan
aktivitasnya, melainkan menggesek- gesek dengan lebih liar. Kemaluannya terasa seperti diaduk-
aduk, hingga makin lama ia makin
merasakan desakan yang aneh
sangat sulit ia pahami. Ia tak dapat menahan perasaannya. Ia
terus mengerang… mengerang…
hingga desakan itu makin menuju ke
arah puncak… Ia tak sanggup
bertahan lagi… “Aaahh… Aaahh… Akhhhhh….”
Pertiwi menjerit panjang saat orgasme
melanda tubuhnya untuk pertama
kalinya. Tubuhnya mengejang kuat,
melengkung seperti busur. Kakinya
merapat menjepit tangan Muhris yang
tak juga berhenti bergerak. Ia
merasakan letupan-letupan dahsyat
seperti sebuah terpaan badai.

Related Posts:

  • pengalaman sexCerita Dewasa Pengalaman Sex Waktu Kecil, Kepala terasa berat, menahan hasrat yang demikian menekan. Sampai jam empat sore bayangan-bayangan kejadian malam malah semakin menggila. Akhirnya aku mencari akal bagaimana melam… Read More
  • kelakian prawankuSebut saja namaku Etty (bukan yang sebenarnya), waktu itu aku masih sekolah di sebuah SMA swasta. Penampilanku bisa dibilang lumayan, kulit yang putih kekuningan, bentuk tubuh yang langsing tetapi padat berisi, kaki yang … Read More
  • murid kesayangan menjadi lihaiSeperti biasa pada pagi yang cerah Lhian bersiap untuk berangkat sekolah. Lhian S, gadis cantik bertubuh tinggi, sexy dan putih mulus. Gadis berkacamata ini cukup pintar dan rajin dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Dia di… Read More
  • tubuhnya lebih nikmatTubuh Eva Lebih Nikmat Dari Istriku. selasa siang di bulan maret aku terpaksa berteduh di sebuah dealer motor kecil di cibubur. hanya ada seorang gadis spg-nya. namanya eva umur 24 thn, gadis sunda yg manis. yang aku suka dar… Read More
  • Senandung Masa PuberIni adalah kisah semasa aku masih di SLTP (sekarang aku kelas dua SMU). Perkenalkan dahulu namaku Indra, aku bersekolah di SLTP 3 Klaten. Aku orangnya manis (kata banyak temen temen cewekku) kayak bintang film India. Aku … Read More